Kamis, 19 Februari 2009


Obyek wisata geologi adalah merupakan wisata alam atau kegiatan wisata dibidang ilmu kebumian dengan obyek berupa lokasi yang berkaitan erat hasil proses geologi yang terkandung dan tersimpan didalam alam antara lain Geologi Wisata yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi. Wisata Geologi ini kebanyakan berada di perbukitan dan ditengah-tengah kawasan hutan jati yang lebat yang berada diwilayah Kabupaten Blora, dan sekitarnya, namun sangat mudah dijangkau baik dangan kendaraan roda dua ataupun dengan roda empat. 

Sumur minyak dan gas bumi di wilayah Kabupaten Blora yang pertama kali di ketemukan oleh BPM pada tahun 1890, jumlah sumur + 648 buah, 112 buah sumur diantaranya dapat memproduksi minyak diantaranya + 16.550.790 m2, sedangkan ladang gas bumi yang berada di wilayah Cepu ; berada di Balun dan Tobo. Adapun disekian banyak sumur minyak yang di ketemukan baik di wilayah Kabupaten Blora sendiri atau disekitarnya, terdapat sumur minyak tua yang ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat dengan menggunakan tali dan timba yang ditarik + sejumlah 15 orang diwilayah Wonocolo, tetapi masih masuk dikawasan hutan jati KPH Cepu Kabupaten Blora. Karena pada umumnya kawasan lokasinya berada di perbukitan dan ditengah kawasan hutan hal ini sangat menarik, unik dan menawan, sehingga banyak dikunjungi baik Wisatawan Nusantara maupun Mancanegara.

Agrowisata ini terletak di Desa Temanjang ditengah kawasan hutan jati dengan pemandangan alam yang indah, + 16 Km. arah Selatan Kota Blora. Daerah ini dikenal pula dengan Agrowisata DUNGMANDUR, karena terdapat kedung yang tak pernah habis airnya. Ditempat ini setiap malam Jumat sering digunakan kegiatan spiritual bagi yang mempunyai maksud tertentu. Disamping banyak pohon buah-buahan, juga tersedia pesanggrahan sebagai tempat peristirahatan.

 
Goa Terawang merupakan obyek wisata alam, terbentuk di daerah endapan batu Gamping Pegunungan Kapur Utara berumur + 10 juta tahun. Terletak di Desa Kedungwungu Kecamatan Todanan kawasan Hutan KPH Blora + 35 Km. arah Barat Kota Blora. Goa Terawang mempunyai panjang alur/terawang terpanjang + 180 m dengan kedalaman 5-11 m dibawah permukaan tanah. Didalamnya terdapat stalakmit dan stalaktit yang sangat indah dan menawan. Di kawasan ini pula terdapat beberapa goa-goa yang tidak kalah menariknya, antara lain goa Kidang, Goa Suru, Goa Manuk, dll.  



 Asal Usul Nama Blora  

Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. 

Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.. 

Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. 

Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

   

Top

  Blora Era Kerajaan Blora dibawah Kadipaten Jipang  

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : 

Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

  Blora dibawah Kerajaan Mataram  

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. 

Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV. 

  Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)  

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. 

Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.  

  Blora dibawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya  

Top

  Blora Kabupaten Blora sebagai Kabupaten  

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. 

Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.  

  Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan  

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.. 

Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO. 

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. 

Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : 

Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora 

Perubahan pola pemakaian tanah komunal 

pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk 

Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.